Selasa, 09 Maret 2010

Atur Wilayah Operasi Bank Komersial


Perhimpunan Bank Umum Nasional mendesak, agar dalam revisi Arsitektur Perbankan Indonesia yang tengah dilakukan saat ini, Bank Indonesia mempertegas aturan pembatasan wilayah operasi bank. Hal ini untuk menjaga persaingan adil dan seimbang antara bank asing dan bank nasional, bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat.

”Selain itu, dalam API (Arsitektur Perbankan Indonesia), BI juga harus mempertajam kategori bank,” kata Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, akhir pekan lalu, di Jakarta.

Saat ini tidak ada batasan bagi bank umum berdasarkan wilayah operasinya. Bank umum bebas membuka cabang dan beroperasi di daerah-daerah pelosok yang sebenarnya merupakan pasar Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Akibatnya, BPR kalah bersaing dan perlahan kolaps.

BI juga tidak membatasi wilayah operasi bank yang dimiliki asing. Padahal, di negara lain, bank yang dimiliki asing selalu dipersulit dalam hal perizinan dan dibatasi pergerakan operasionalnya. Dengan kekuatan modal yang besar, bank-bank asing di Indonesia akhirnya leluasa melakukan penetrasi dan memperbesar dominasinya.

Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad menjelaskan, pemantapan API akan dilandasi salah satunya dengan penciptaan iklim kompetisi lebih adil. Selain itu, salah satu kebijakan utama BI tahun 2010 adalah meningkatkan peran BPR dalam pembiayaan mikro dan daya ketahanannya.

Kebijakan ini akan ditempuh di antaranya dengan memberikan insentif mendorong peningkatan modal, memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan sumber daya manusia yang kompeten, dan mempertegas posisi BPR sebagai community bank. Dengan demikian, diharapkan pangsa pasar BPR terhadap perbankan nasional tidak makin tergerus.

Di tempat terpisah, Direktur Bank UOB Buana Safrullah Hadi Saleh mengatakan, pemberlakuan kisaran patokan loan to deposit ratio (LDR) oleh BI akan melindungi perbankan dari risiko likuiditas.

Menurut Safrullah, bank yang terlalu tinggi LDR-nya tidak selamanya baik karena berarti likuiditasnya ketat. Bank yang memiliki LDR tinggi bisa mengalami masalah saat likuiditas di pasar perbankan sedang ketat.

Saat ini BI sedang mengkaji kisaran patokan LDR yang pas. Perbankan yang LDR-nya melewati batas atas kisaran akan didorong untuk menurunkannya. Bila berhasil, akan diberikan insentif berupa penurunan kewajiban giro wajib minimum. Safrullah mengatakan, angka LDR sebesar 90 persen merupakan angka yang aman bagi perbankan.

Berdasarkan data BI, posisi LDR perbankan per November 2009 rata-rata 73,67 persen. Posisi LDR tertinggi 88,05 persen diduduki kelompok bank campuran. Selanjutnya bank nondevisa (84,36 persen), kelompok bank asing (79,94 persen), bank BUMN (73,68 persen), Bank Pembangunan Daerah (73,36 persen), dan bank devisa (70,43 persen). (FAJ)


Sumber :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/01/04440286/atur.wilayah.operasi.bank.komersial
1 Februari 2010

Sumber Gambar:
http://matanews.com/2009/06/04/bi-harus-turunkan-sbi-outstanding/

Peringkat 10 Top Bank Di Indonesia

Bank Mandiri masih kokoh di peringkat pertama sebagai bank dengan aset terbesar di Indonesia. Nilai aset bank pelat merah ini per Agustus 2009 mencapai Rp 346,124 triliun atau naik dari Rp 349,181 triliun dibandingkan setengah tahun sebelumnya.

Sementara itu, Bank CIMB Niaga berhasil menggeser Bank Danamon dari peringkat 5 dari daftar 10 besar bank dengan aset terbesar per Agustus 2009 yang di rilis Bank Indonesia, kemarin.

Selain itu, Bank Rakyat Indonesia juga berhasil mempertahankan posisinya di peringkat kedua dari kejaran Bank Central Asia. BRI merebut posisi kedua dari BCA pada Desember 2008. Total nilai aset 10 bank pada Agustus 2009 naik menjadi Rp 1.514,444 triliun dibandingkan aset pada Desember 2008, Rp 1,437,567 triliun.

Mayoritas bank yang termasuk ke dalam daftar ini mengalami kenaikan aset, kecuali Danamon dan Citibank yang justru turun.

Berikut daftar 10 Bank dengan aset terbesar di Indonesia :

1. PT Bank Mandiri Tbk Rp 346,124 triliun.
2. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Rp 268,700 triliun, naik dari Rp 250,134 Desember 2008.
3. PT Bank Central Asia Tbk Rp 266,202 dari Rp 246,702 triliun (Desember 2008).
4. PT Bank Negara Indonesia Tbk Rp 204,364 triliun dari Rp 200,974 triliun.
5. PT CIMB Niaga Tbk Rp 100,496 triliun dari Rp 69,305 triliun.
6. PT Bank Danamon Indonesia Tbk Rp 97,161 turunn dari Rp 104,842 triliun.
7. PT Pan Indonesia Bank Tbk Rp 69,671 triliun dari Rp 63,628 triliun.
8. PT Bank Permata Tbk Rp 54,381 dari Rp 54,220 triliun.
9. PT Bank Internasional Indonesia Tbk Rp 54,291 triliun dari Rp 54,068 triliun.
10. Citibank NA Rp 53,055 triliun dari Rp 53,503 triliun.


Sumber :
http://detiker.com/financial-news/banking/peringkat-top-bank-di-indonesia.html
13 Oktober 2009

Sejarah Perbankan -Pengertian, Asas, Fungsi, dan Tujuan

Usaha perbankan dimulai dari zaman Babylonia, dilanjutkan ke zaman Yunani Kuno dan Romawi. Pada saat itu, kegiatan utama bank hanya sebagai tempat tukar menukar uang. Selanjutnya, kegiatan bank berkembang menjadi tempat penitipan dan peminjaman uang. Uang yang disimpan oleh masyarakat, oleh bank dipinjamkan kembali ke masyarakat yang membutuhkannya.

Sementara itu, mengenai sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada saat itu terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda antara lain: De Javasche NV, De Post Paar Bank, De Algemenevolks Crediet Bank, Nederland Handles Maatscappij (NHM), Nationale Handles Bank (NHB), dan De Escompto Bank NV.

Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik pribumi, Cina, Jepang, dan Eropa lainnya. Bank-Bank tersebut antara lain: Bank Nasional Indonesia, Bank Abuah Saudagar, NV Bank Boemi, The matsui Bank, The Bank of China, dan Batavia Bank.

Di zaman kemerdekaan perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan, antara lain:

a. Bank Negara Indonesia yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 kemudian menjadi BNI 1946.

b. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari DE ALGEMENE VOLKCREDIET bank atau Syomin Ginko.

c. Bank Surakarta MAI (Maskapai Adil Makmur) tahun 1945 di Solo.

d. Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.

e. Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.

f. Indonesia Banking Corporation tahun 1946 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.

g. NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.

h. Bank Dagang Indonesia NV di Banjarmasin tahun 1949.


Pengertian Bank

Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Berdasarkan pengertian di atas, bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan.


Asas, Fungsi, dan Tujuan Perbankan Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Demokrasi ekonomi itu sendiri dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Berdasarkan asas yang digunakan dalam perbankan, maka tujuan perbankan Indonesia adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998, fungsi bank di Indonesia adalah:

a. Sebagai tempat menghimpun dana dari masyarakat Bank bertugas mengamankan uang tabungan dan deposito berjangka serta simpanan dalam rekening koran atau giro.

Fungsi tersebut merupakan fungsi utama bank.

b. Sebagai penyalur dana atau pemberi kredit Bank memberikan kredit bagi masyarakat yang membutuhkan terutama untuk usaha-usaha produktif.


Sumber :
Afandi Kusuma
http://afand.cybermq.com/post/detail/2357/sejarah-perbankan--pengertian-asas-fungsi-dan-tujuan
7 Mei 2009

Problem SDM Menjadi Isu Terhangat Perbankan Syariah 2010

Berapa jumlah sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dan seperti apakah SDM untuk mendukung operasional perbankan syariah kedepan? Dua pertanyaan tersebut kini menjadi isu terhangat dan menjadi pembicaraan dalam pengembangan perbankan syariah di awal tahun 2010.

Trend kedepan, Indonesia menjadi pusat pengembangan perbankan syariah di Asia tenggara tak bisa dilepaskan begitu saja, kemudian hadirnya 6 Bank Umum Syariah (Bank Muamalat, BSM, BMS, BRISyariah, BSB dan Bank Panin Syariah ) serta Unit Usaha Syariah (UUS) dan BPRS perlu sebuah dukungan SDM yang berkualitas. Kesiapan dan persiapan seperti apakah yang harus dilakukan ditengah pertumbuhan perbankan syariah semakin tahun semakin meningkat itu.

Deputi Gubernur Bank Indonsia dan sekaligus Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Muliaman D Hadad di acara HR Syariah Summit 2010 di Jakarta, menekankan diperlukan integrasi antara para akademisi dan praktisi dalam mengembangkan SDM di lembaga keuangan syariah (LKS). Mereka tak bisa berjalan sendiri-sendiri, tanpa sebuah integrasi sangat mustahil LKS di Indonesia seperti bank syariah bisa maju dengan pesat.

”Itulah yang menjadikan kegelisahan kami dalam mengembangkan perbankan syariah, sehingga masalah kebutuhan SDM merupakan pilar pertama dalam blue print di pengembangan perbankan syariah di Indonesia,”paparnya.

Muliaman juga memaparkan saat ini—sudah banyak lembaga perguruan tinggi yang membuka kosentrasi jurusan ekonomi syariah bahkan di perguruan tinggi negeri dan Islam juga secara terbuka membuka program tersebut. Hal ini merupakan respon mereka terhadap pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.

Kemudian dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia Muliaman juga menyinggung masalah inovasi produk masih menjadi kendala selama ini, hal ini menurutnya tak lepas dari rendahnya SDM di perbankan syariah sehingga mengakibatkan kreatifitas produk yang selama bisa diharapkan masih belum maksimal.

”Inilah yang harus segera di jawab,”paparnya.

Menciptakan SDI yang siap bekerja dengan visi hingga kemampuan teknis operasioanal syariah bukan perkara mudah. Sebuah riset menunjukkan kendala utama pengembangan ekonomi syariah adalah SDI yang lemah baik dari sisi jumlah maupun kualitasnya. Artinya SDI yang memiliki kompetensi seperti yang diharapkan masih jauh panggang dari api. Akibatnya ekonomi syariah cenderung lemah dalam bidang marketing, sasaran strategi, efisiensi operasi dan implementasi good corporate governance.

Masalah lainnya adalah pengembangan kelembagaan, pengembangan produk dan pasar, kerangka hukum dan peraturan serta pengawasan atas prinsip-prinsip syariah. Namun kalau mau dilihat secara mendalam kendala-kendala tersebut di atas bisa diatasi kalau kita memiliki SDI yang memadai untuk memecahkannya.

Mengapa? SDI adalah sentra perubahan. SDI adalah sentra kemajuan. Tanpa SDI syariah yang mumpuni, pertumbuhan ekonomi syariah sulit berkembang bahkan bisa kembali tergerus.

Pemikiran-pemikiran untuk memajukan perbankan syariah di Indonesia secara demikian selalu dikatakan oleh anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Muhammad Gunawan Yasni. Selain masalah SDM permasalahan kebijakan dari pemerintah sering kali menjadi orientasi pengembangan perbankan syariah tak jelas arah dan tujuannya.

”Sepuluh tahun lebih bank syariah berjalan tapi konsepsi secara terintegrasi dari pemerintah masih lamban, apalagi dalam pengembangan pendidikan hingga sekarang belum ada titik kejelassannya,”kata Gunawan Yasni.

Meski demikian dalam menghadapi era pasar bebas yang sudah masuk dalam kebijakan pemerintah, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Achmad Riawan Amin, menegaskan bahwa visi SDM syariah kedepan harus jelas dan nilai-nilai dasar yang bersumber dari ajaran Islam harus menjadi prinsip bagi para SDM yang berkerja di LKS.

”Jangan sampai SDI Syariah yang ada selama ini tak jelas visi dan karakternya sehingga sulit dibedakan mana syariah dan mana konvensional,” tutur Riawan Amin. (Agus Y www.pkesinteraktif.com)

Sumber :
http://www.pkesinteraktif.com/bisnis/perbankan-syariah/105-problem-sdm-menjadi-isu-terhangat-perbankan-syariah-2010-.html
14 Januari 2010

Mewaspadai Kejahatan Layanan Perbankan Elektronik

LATAR BELAKANG

Masyarakat kini telah semakin banyak memanfaatkan Teknologi Informasi secaraintensif di dalam setiap aspek kehidupannya. Pemanfaatan ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat perkotaan dan kelas sosial menengah ke atas tetapi untuk jenis teknologi dan media elektronik tertentu juga telah meluas hingga ke masyarakat pedesaan dan kelas sosial menengah ke bawah.

Catatan: salah satunya adalah teknologi telepon selular GSM dan CDMA.

Media elektronik sebagai salah satu sarana Teknologi Informasi, tidak digunakan untuk penyebaran informasi yang bersifat satu arah saja, namun kini juga menjadi sarana transformasi informasi dan data yang bersifat interaktif sehingga transaksi sosial ekonomi pun dapat dilakukan melalui media elektronik. Antara lain misalnya terjadi pada teknologi telepon, internet dlsb.

Industri perbankan adalah salah satu bidang jasa yang secara ekstensif menyelenggarakan layanan sdengan memanfaatkan media elektronik (e-banking). Sebagian besar bank pada saat ini bahkan mengandalkan Teknologi Informasi dan media elektronik sebagai basis layanannya. Sehingga layanan perbankan yang diselenggarakannya kini menawarkan berbagai kemudahan yang dapat dimanfaatkan masyarakat setiap saat dan dimana saja, tidak dibatasi jarak, ruang dan waktu.

Jenis teknologi (e-banking) dan media elektronik yang digunakan antara lain adalah:

1. Layanan perbankan online, memungkinkan terjadinya hubungan dan transaksi antar cabang secara real time (seketika) melalui jaringan komputer sehingga memudahkan, mempercepat pengelolaan/manajemen serta pelayanan. Tidak ada penundaan akibat hambatan komunikasi dan pertukaran data, informasi transaksi antar cabang. Bahkan antar bank yang memiliki kerjasama kini juga telah melakukan pertukaran informasi dan data secara online sehinggamemudahkan dan meniadakan hambatan transaksi antar nasabah yang berbeda bank;

2. Layanan jaringan mesin ATM (Automated Teller Machine), memungkinkan masyarakat untuk melakukan transaksi perbankan melalui mesin ATM misalnya untuk pembayaran, pengiriman atau penerimaan, pengambilan tunai danpenyetoran (terbatas). Mesin ATM tersebar luas di seluruh Indonesia dan bahkan di seluruh dunia (kerjasama antar penyelenggara layanan ATM);

3. Layanan jaringan EDC (Electronic Data Capture), memungkinkan masyarakat untuk melakukan transaksi pembelanjaan/konsumsi di counter merchant secara elektronik menggunakan kartu debit atau kartu kredit maupun kartu tunai (voucher elektronik);

4. Layanan phone banking, memungkinkan masyarakat untuk melakukan transaksi perbankan melalui telepon. Media elektronik yang serupa adalah layanan SMS banking/mobile banking untuk mendukung aktivitas dan mobilitas masyarakat;

5. Layanan internet banking, memungkinkan masyarakat untuk melakukan transaksi perbankan melalui media jaringan komputer global yaitu internet;

6. Layanan kartu kredit, kartu cicilan dan untuk pembayaran tunda sejenisnya.

Semua bank nasional pada saat ini telah terhubung secara online dan ada yang bergabung dengan jaringan kerjasama layanan e-banking lokal maupun internasional untuk memperluas jaringan dan meningkatkan efisiensi layanan serta sekaligus meminimalisir biaya operasional dan perawatan.

Misalnya untuk layanan ATM yang kini paling banyak digunakan oleh nasabah perbankan, pihak bank tidak hanya menyediakan layanan ini melalui jaringan mesin ATM yang dimiliki sendiri (misalnya BCA 6.000 ATM, Mandiri 3.000 ATM, BNI 3.000 ATM, BRI 4.000 ATM) melainkan juga bergabung dengan jaringan mesin ATM yang diselenggarakan oleh pihak lain baik itu lokal (ATM Bersama, 11.000 ATM) dan internasional (Plus, Cirrus, Alto, Link dll. yang memiliki jutaan ATM di seluruh dunia).

Nasabah pengguna kartu ATM tidak harus tergantung dan melakukan transaksi dari mesin ATM bank ybs. dapat menggunakan ATM lain yang memiliki kerjasama dengan bank penerbit asalnya. Biasanya logo jaringan ATM yang didukung tertera di setiap kartu ATM. Sehingga pengguna bisa memilih.

Semua bank nasional kini menerbitkan kartu ATM, bahkan beberapa bank nasional secara otomatis akan memberikan kartu ATM kepada nasabah untuk setiap pembukaan rekening baru. Diperkirakan pada akhir tahun 2009 di Indonesia ada sekitar 50 juta pengguna kartu ATM aktif dimana sebagian besar dari kartu ATM tersebut juga berfungsi sebagai kartu debit (dapat digunakan sebagai media pembayaran elektronik di merchant pembelanjaan yang memiliki kerjasama dengan bank).

Semakin luasnya trend pemanfaatan kartu ATM dan kartu kredit sebagai alat pembayaran mendorong tumbuhnya layanan perbankan lain yang ditujukan kepada merchant pembayaran yaitu sistem EDC. Sekarang ini di seluruh dunia sistem EDC telah digunakan di jutaan counter merchant yang meliputi hampir seluruh jenis transaksi ekonomi yang bersifat konsumsi baik itu barang maupun jasa.

Kecenderungan lain yang semakin meningkat tajam adalah pemanfaatan layanan SMS/mobile banking dan internet banking. Mobilitas masyarakat modern yang semakin tinggi, tersedianya infrastruktur dan semakin murahnya biaya penggunaan layanan teknologi ini serta aneka kemudahan yang ditawarkan, seperti tidak diperlukannya kehadiran fisik (orang dan tanda tangan fisik, alat : kartu dan mesin ATM, mesin EDC) ketika melakukan suatu transaksi, menjadi daya tarik utama yang menyebabkan nasabah memilih menggunakan layanan tsb. Pihak merchant pun juga diuntungkan karena tidak perlu harus memiliki outlet secara fisik, tidak terbatas ruang dan waktu sehingga operasionalnya efisien.

ASPEK PENGAMANAN

Sebagaimana teknologi lainnya, selain memiliki kelebihan berupa kemudahan dan manfaat luas yang meningkatkan kualitas kehidupan manusia, maka layanan perbankan elektronik juga memiliki banyak kelemahan yang patut diwaspadai dan diantisipasi. Sehingga, teknologi tersebut tetap dapat dipakai, manfaatnya terus dinikmati oleh umat manusia namun juga harus ada tanggung jawab, pengawasan dan upaya untuk memperbaiki kelemahan, menanggulangi permasalahan yang mungkin timbul serta yang paling penting adalah meningkatkan kesadaran dan menanamkan pemahaman tentang resiko dari pemanfaatan teknologi yang digunakan oleh layanan perbankan itu terutama
kepada masyarakat luas, pengguna/nasabah, pemerintah/regulator, aparat penegak hukum dan penyelenggara layanan itu sendiri (bank, merchant, operator layanan pihak ketiga dlsb.). Karena masalah keamanan adalah tanggung jawab bersama, semua pihak harus turut serta berperan aktif dalam upaya pengamanan.

Kerjasama semua pihak yang terkait pemanfaatan teknologi ini sangat diperlukan. Ada sebuah jargon dalam dunia information security yaitu: “your security is my security”, artinya semua pihak pasti memiliki titik kerawanan dan karenanya masing-masing memiliki potensi resiko yang mungkin dapat dieksploitasi oleh pihak lain yang berniat tidak baik. Maka apabila terjadi insiden terkait kerawanan itu, seluruh komponen yang saling terkait harus turut bertanggung jawab untuk menanggulangi dan meningkatkan upaya meminimalisir resiko serta mencegah kejadian serupa di masa depan.

Misalnya, bank tidak mungkin melakukan pengamanan apabila nasabah tidak memiliki pemahaman mengenai kemungkinan resiko kerawanan dan kelemahan pada sistem elektronik yang digunakan. Sebaliknya, nasabah yang telah berhati-hati sekalipun akan dapat menjadi korban apabila bank lalai atau gagal di dalam pengawasan dan upaya peningkatan pengamanan sistem secara terus-menerus. Demikian juga apabila aturan dari pemerintah lemah dan penegak hukum tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk terus mengikuti perkembangan sistem dan teknologi maka ketika terjadi insiden akan sulit untuk melakukan penindakan terhadap semua pihak yang seharusnya bertanggung
jawab.

Sehingga semuanya saling terkait, tidak berdiri sendiri. Pihak yang berniat jahat akan selalu memilih celah kerawanan yang paling lemah sebagai pintu masuk. Sehingga semua pihak turut bertanggung jawab dan harus saling membantu (bekerjasama) untuk mengawasi, memperbaiki dan menutup celah tersebut tanpa saling menyalahkan karena justru akan berakibat melemahkan peran dan potensi setiap pihak dalam upaya pengamanan bersama. Setiap pihak adalah satu simpul rangkaian rantai pengamanan dan semua saling bergantung satu sama lain, karenanya semua sama pentingnya.

TITIK KERAWANAN

Selama beberapa waktu ID-SIRTII telah melakukan kajian terhadap data kejadian insiden keamanan dan kasus kejahatan terkait layanan perbankan elektronik di Indonesia. Pada prinsipnya disimpulkan ada beberapa titik kerawanan yang patut diwaspadai dan diperbaiki sebagai antisipasi di masa depan.

1. Kerawanan prosedur perbankan. Paling menonjol adalah lemahnya proses identifikasi dan validasi calon nasabah. Masalah ini bukan sepenuhnya kesalahan bank, karena di Indonesia belum diterapkan Single Identity Number (SIM) yang terintegrasi antar departemen terkait pelaksanaan pelayanan publik, sehingga mudah sekali untuk melakukan pemalsuan identitas dan mengecoh sistem validasi bank sehingga akhirnya akan berakibat pada penyalahgunaan rekening, fasilitas dan layanan terkait dengan nasabah seperti kartu ATM/debit untuk kegiatan kejahatan mulai fraud (penipuan) hingga ke pencucian uang. Kecenderungannya para pelaku kejahatan akan memilih untuk sejauh mungkin hanya menggunakan layanan elektronik saja, menghindari transaksi dan kontak fisik baik dengan petugas bank maupun korban.

Bentuk kelemahan prosedur lainnya adalah sistem outsourcing di dalam pemasaran produk perbankan. Banyak sekali terjadi kasus pencurian identitas calon nasabah dan juga nasabah serta tidak terjaminnya perlindungan data dan informasi pribadi dalam jangka panjang akan menjadi titik kerawanan yang paling potensial untuk dimanfaatkan oleh para pelaku berbagai jenis kejahatan bukan hanya terkait layanan elektronik perbankan melainkan juga kejahatan lainnya. Pengamatan ID-SIRTII pada tahun 2009 pada “underground market” menunjukkan bahwa data identitas nasabah perbankan asal Indonesia cukup banyak diperjualbelikan.

Kasus paling menonjol terkait pencurian data/bocornya nasabah akibat kerawanan prosedur pengamanan di perusahaan outsourcing terjadi pada tahun 2008, ketika 7 juta data rekening kartu kredit dibobol oleh sindikat pengedar narkotika yang juga melakukan pemalsuan kartu kredit untuk kepentingan transaksi bisnisnya. Untuk catatan, diperkirakan pada akhir tahun 2009 kartu kredit yang diterbitkan oleh bank asal Indonesia jumlahnya sekitar 9 – 11 juta.

Sejumlah kerawanan prosedur lainnya juga dijumpai di dalam sistem verifikasi untuk layanan SMS/mobile banking dan internet banking. Nasabah harus memahami cara kerja layanan tsb. dan memperhatikan dengan cermat setiap transaksi yang terjadi dan melakukan cross check apabila dijumpai potensi kelemahan dan kesalahan. Harus diperhatikan bahwa layanan tsb. melibatkan pihak selain bank yaitu operator selular dan provider internet sehingga kelemahan bisa saja terjadi pada sistem mereka, bukan pada sistem perbankan. Seharusnya pihak bank, operator selular dan provider internet harus lebih banyak lagi melakukan sosialisasi prosedur pengamanan kepada para penggunanya sehingga resiko terjadinya insiden dapat diminimalisir.

Yang paling mengkhawatirkan dan terbukti paling sering dieksploitasi oleh pelaku kejahatan adalah kerawanan prosedur pada mesin ATM dan mesin EDC. Masalahnya adalah minimnya upaya pengawasan bank terhadap dua sistem tsb. Sehingga nasabah dituntut untuk lebih berhati-hati/waspada saat bertransaksi di ATM dan EDC. Bukan hanya modus eksploitasi yang melibatkan teknologi seperti skimming namun juga yang konvensional seperti hipnotis serta aneka penipuan via SMS, undian berhadiah dll. bahkan ada juga nigerian scam. Sangat jarang dijumpai pesan peringatan (reminder) kepada nasabah maupun upaya peningkatan sistem pengamanan yang memadai dengan misalnya memasang kamera pengawas di semua ATM.

2. Kerawanan fisik. Sebagian besar kartu ATM yang digunakan bank saat ini jenisnya magnetic stripe card yang tidak dilengkapi pengaman chip (smart card). Kartu jenis ini sangat mudah digandakan. Perangkat penggandaan dan bahan baku kartu magnetic ini dapat dengan mudah dijumpai di pasaran dengan harga yang sangat murah. Saat ini baru kartu kredit saja yang telah diganti dengan jenis smart card sejak Januari 2010 sesuai ketentuan Bank Indonesia. Seharusnya penggantian jenis kartu dan peningkatan teknologi yang digunakan harus lebih sering dilakukan karena modus kejahatan pun semakin cepat mengalami perubahan. Selain jenis smart card, sekarang juga sudah dikembangkan jenis kartu lain (next generation) yang lebih kuat teknologi pengamanannya seperti smartcard yang dilengkapi chip RFID, biometrik dlsb.
Setiap bank penyelenggara layanan perbankan elektronik seharusnya menyiapkan road map untuk secara periodik mengganti jenis kartu dan meningkatkan keamanan fisiknya.

Standar pengamanan mesin ATM dan EDC juga masih sangat kurang. Seharusnya mesin ATM dilengkapi dengan sensor, alarm, kamera pengawas dan berbagai mekanisme pengamanan lainnya. Misalnya penggunaan privacy screen dengan sudut penglihatan yang sempit, cover untuk melindungi numeric keypad, anti skimming card reader hole hingga mungkin apabila diperlukan emergency intercom unit. Dengan teknologi telekomunikasi berbasis IP yang kini tersedia, semua fasilitas pengamanan itu dapat diselenggarakan dengan biaya yang murah.

Secara fisik yang perlu diperhatikan adalah keamanan sistem jaringan yang digunakan oleh layanan tsb. Baik itu SMS/mobile banking ataupun internet banking pada dasarnya melalui jaringan publik yang sesungguhnya tidak aman karena dipergunakan oleh masyarakat umum bukan sebuah saluran independen (private) yang terjamin. Sehingga harus diperhatikan dan menjadi prioritas utama untuk menerapkan metode pengamanan virtual, misalnya VPN, SSL (digital signature) dan penggunaan algoritma enkripsi yang lebih kuat dari waktu ke waktu.

Sosialisasi pengamanan fisik pada sisi nasabah pengguna pun juga harus dilakukan. Misalnya saat menggunakan akses internet publik yang tidak terjamin keamanannya seperti di warnet, hotspot, maupun ketika menggunakan mobile internet. Pengamanan terhadap gadget ketika sering memanfaatkan SMS/mobile banking, juga harus menjadi perhatian yang lebih serius. Banyak pengguna gadget tidak menyadari bahwa pelaku kejahatan menggunakan modus trashing (mencari data sampah yang tertinggal atau terhapus dari perangkat gadget bekas).

3. Kerawanan aplikasi. Secara teknis, untuk layanan yang sangat kritis seperti perbankan, proses pengembangan aplikasi yang digunakan seharusnya mengikuti kaidah yang disebut dengan secure programming dan dikerjakan oleh ahli programming yang memiliki kemampuan secure programming ini. Selanjutnya aplikasi ini secara periodik harus diaudit, dilakukan penetration testing untuk menemukan celah keamanan dan update untuk menjamin keamanan dan telah ditutupnya kerawanan pada aplikasi. Audit tidak hanya dilakukan pada sisi
aplikasi perbankan namun juga harus dilakukan pada sistem pihak ketiga yang menjembatani akses antara bank dengan nasabahnya, yaitu sistem dan jaringan milik operator selular dan provider internet.

Kelemahan aplikasi sebenarnya adalah sebuah konsekuensi logis yang mungkin terjadi akibat semakin kompleksnya fitur dan layanan yang disediakan oleh aplikasi tsb. dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Sehingga prosedur, pengawasan, kehati-hatian di dalam setiap proses peningkatan kemampuan aplikasi harus menjadi prioritas utama implementasi.

Jenis exploitasi aplikasi pun sekarang ini juga semakin meningkat jumlah dan kualitasnya dan banyak diantaranya yang menggunakan metode yang semula tidak pernah terpikirkan para pengembang aplikasi untuk perbankan. Seperti misalnya, serangan tidak lagi dilakuken lewat front end melainkan melalui celah keamanan back end. Peretas berusaha membangun suatu saluran backdoor melalui sistem back end bank dengan cara menyusupkan trojan atau bots kedalam jaringan internal perusahaan. Banyak pengembang aplikasi perbankan hanya fokus antisipasi pengamanan pada sisi front end namun membiarkan sisi back end terbuka lebar.

4. Kerawanan perilaku. Salah satu penyebab utama terjadinya insiden keamanan di dalam dunia Teknologi Informasi adalah akibat kelemahan manusia. Baik itu SDM perbankan, nasabah itu sendiri maupun juga aparat penegak hukum. Pada sisi perbankan, tidak semua SDM disiplin di dalam menerapkan prosedur pengamanan. Sedangkan di sisi nasabah upaya sosialisasi untuk menciptakan kesadaran masih dilakukan secara parsial dan kasuistis. Seharusnya proses ini dilaksanakan secara paralel dengan setiap kegiatan marketing dan melekat
di dalam setiap produk perbankan (bukan hanya untuk e-banking saja) dan harus dilaksanakan secara terus-menerus, karena bank adalah bisnis jasa berbasis kepercayaan (trust) sehingga isu keamanan seharusnya menempati prioritas tertinggi yang harus disampaikan kepada nasabah.

Pada prakteknya bank penyelenggarakan e-banking akan menerapkan prosedur pengamanan pragmatis yang pada dasarnya hanya melindungi kepentingan bank. Kepentingan nasabah justru tidak terlindungi, semua resiko harus ditanggung sendiri. Karena dalam setiap insiden bank menempatkan dirinya juga sebagai korban bukan sebagai penanggung jawab. Mengakui kelemahan adalah hal tabu
yang dianggap akan mencederai integritas bank dan menurunkan tingkat kepercayaan nasabah. Akibatnya setiap insiden selalu ditutupi dan nasabah yang lain tidak menyadari adanya suatu kelemahan yang dapat membayakan kepentingan mereka.

Di negara lain, misalnya Jepang, pemerintah menerapkan aturan yang mengubah mindset dunia perbankan di dalam mensikapi terjadinya insiden keamanan. Pemerintah Jepang justru mewajibkan kepada pihak bank yang mengalami insiden/serangan untuk membuka informasi secara detail bukan hanya kepada nasabah melainkan juga kepada publik sehingga terjadi proses pembelajaran dan terbentuk kesadaran terhadap aspek keamanan dan pengamanan. Sehingga bank lain dapat secepatnya melakukan antisipasi seandainya memiliki kelemahan serupa. Karena kemanan adalah tanggung jawab semua pihak, “your security is my security”.

E-banking bukanlah layanan perbankan konvensional, karena yang dilayani adalah nasabah yang telah hidup di dalam budaya online yang berbeda paradigma dengan dunia offline. Maka pendekatan yang digunakan di dalam layanan pun seharusnya mengacu pada budaya online. Misalnya, apabila didalam perbankan konvensional, insiden harus ditutupi untuk mencegah terjadinya resiko lain, seperti rush. Dalam layanan perbankan online setiap insiden justru harus segera diumumkan secara terbuka karena akibat dari serangan bisa sangat cepat dan luas sehingga dapat menimbulkan dampak yang luar biasa karena sifatnya yang online real time.

Nasabah yang sangat tergantung dan secara intensif telah menggunakan layanan e-banking, justru akan memberikan apresiasi tinggi apabila bank memiliki keberanian dan keterbukaan untuk mengungkapkan kelemahan dan insiden yang dialami. Karena di dalam budaya online, pengakuan adalah wujud tanggung jawab dan itikad baik dan kecepatan respon adalah isu krusial. Apabila bank telah mengetahui masalah itu maka tidak seharusnya menyembunyikan kelemahan tersebut, justru wajib mengumumkan tindakan terbaik apa yang telah dilakukan
untuk mitigasi, recovery dan pencegahan serta antisipasi di masa datang. Terutama tindakan pencegahan apa yang perlu dilakukan oleh nasabah, misalnya untuk menghentikan transaksi sementara waktu. Dengan cara demikian justru integritas bank cepat dipulihkan karena telah mampu menunjukkan kecepatan respon, tanggung jawab serta kemampuan mengelola krisis.

Bank juga harus memiliki tim respon insiden yang memiliki kemampuan menghadapi potensi ancaman, gangguan dan serangan terhadap sistem elektronik. Tim ini harus selalu siaga dan memantau trend dan modus kejahatan serta teknologi yang dinamis (cepat berubah). Di masa damai, tim ini dapat terlibat di dalam kegiatan sosialisasi dan kampanye kesadaran tentang keamanan dan pengamanan baik secara internal di dalam bank maupun kepada masyarakat agar lebih memahami problematika dan dinamika masalah keamanan di dunia perbankan.

Masyarakat pada umumnya dan nasabah pada khususnya harus terus mendapatkan update, informasi tentang masalah keamanan di dunia perbankan bahkan bila diperlukan tools untuk mengamankan diri. Bank harus melakukan kampanye secara umum agar masyarakat dan nasabah paham adanya ancaman bahaya. Misalnya, harus dijelaskan kondisi di sekitar mesin ATM dan prosedur serta etika yang sebaiknya diterapkan ketika memanfaatkan layanan tsb. Contoh: perlunya jarak antrian dalam batas yang aman agar orang tidak mudah mengintip. Layanan peringatan (reminder, misalnya via SMS) berupa anjuran untuk mengganti PIN dan password secara rutin, pesan kewaspadaan terhadap aneka modus penipuan, hipnotis dlsb. termasuk praktek skimming. Nasabah bahkan tidak pernah diberikan arahan untuk melakukan observasi kondisi, situasi mesin ATM dan lingkungan sekitarnya sebelum melakukan transaksi.

Demikian juga dengan nasabah layanan online banking. Update informasi mengenai modus phising, password hijacking, ancaman penyebaran malware serta potensi pencurian informasi personal harus dilakukan secara periodik. Di Indonesia, bank yang memiliki layanan online bahkan tidak memanfaatkan sarana email untuk berkomunikasi dengan nasabahnya, tidak menerbitkan newsletter atau mengaktifkan mailing list yang sesungguhnya bebas biaya. Ini artinya ini menunjukkan bahwa walaupun menyelenggarakan layanan online, sesungguhnya bank masih menggunakan paradigma offline. Bahkan di dalam menyampaikan keluhan pun, nasabah e-banking tetap diminta untuk menghubungi customer service via telepon. Padahal sangat dimungkinkan untuk pelanggan e-banking menyediakan layanan customer service via instant messenger dan atau email. Apalagi di tengah trend dunia yang sudah semakin mobile dan always on. Layanan dukungan semacam ini sangat menentukan persepsi nasabah dalam mengukur kemampuan dan tingkat percepatan respon bank di dalam menangani insiden.

5. Kerawanan regulasi dan kelemahan penegakan hukum. Sebagian besar regulasi perbankan masih menggunakan paradigma konvensional yang sepenuhnya melindungi kepentingan bank. Regulasi ini sudah saatnya dirubah, karena arah kegiatan perbankan sekarang yang memasuki era online dan transaksi elektronik sehingga tanggung jawab pengamanan menjadi masalah bersama. Bank harus menjadi pihak yang bertanggung jawab karena posisi sebagai sistem penyelenggara layanan transaksi elektronik. Peraturan perundangan yang baru sepertu UU No. 11/2008 Tentang ITE juga telah mulai mengatur masalah ini. Di masa depan akan semakin banyak peraturan yang digolongkan sebagai cyber law ini akan diberlakukan oleh pemerintah. Sehingga diharapkan ada kepastian hukum bagi para penyelenggara layanan dan pengguna.

Semangat kerjasama harus menjadi platform dasar di dalam menghadapi insiden keamanan layanan e-banking. Bank harus terbuka dan secepatnya memberikan akses pada penegak hukum untuk melakukan investigasi dan mitigasi. Tidak menghalangi dengan alasan aturan kerahasiaan bank ataupun prosedur birokrasi. Di dunia online, percepatan tindakan sangat penting untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih luas karena pelaku dapat beraksi di dalam hitungan waktu yang sangat cepat dan tidak terbatas jarak, ruang apalagi birokrasi. Petugas yang melakukan investigasi dan mitigasi pun tidak hanya sekedar harus profesional dan memiliki keahlian serta pengalaman namun juga harus memiliki integritas tinggi. Mereka harus diberikan kepercayaan dan kesempatan serta kewenangan yang luas untuk bekerja.

Karena di dalam dunia elektronik ini, batasan-batasan manajemen dan birokrasi tidak berlaku. Misalnya seorang peretas yang melakukan penyusupan dan menyerang sistem elektronik bank mungkin akan berusaha untuk mencapai hak akses tertinggi di dalam sistem untuk melakukan cover up (penghapusan jejak) dan tentunya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Sehingga para penyidik pun harus diberikan otoritas yang sama ketika mereka bekerja dalam sistem agar bisa melacak dan mengejar pelaku. Hal seperti ini (otoritas penuh dalam mitigasi dan investigasi) harus diatur dalam regulasi di dalam sistem perbankan, bila perlu regulasi BI maupun pemerintah. Di satu sisi masalah pengawasan dan jaminan integritas juga diperlukan.

Aparat penegak hukum pada umumnya memiliki keterbatasan keahlian, sumber daya dan juga membutuhkan bantuan pihak ketiga, setidaknya sebagai pendapat kedua. Karena kejahatan elektronik selalu memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi teknis dan sisi kejahatan itu sendiri. Pada sisi teknis, kemampuan semacam itu bisa dimiliki oleh siapapun dan bukan tidak mungkin itu berasal dari kelemahan di dalam sistem itu sendiri. Sedangkan dari sisi kejahatan memerlukan keahlian penyidikan dan insting penegak hukum yang memang profesional di bidangnya. Maka pendekatan terhadap insiden cyber crime pun harus dilakukan sekaligus dari dua sisi tersebut.

Untuk mendapatkan keahlian tersebut diperlukan sistem pendidikan yang kredibel, berkualitas dan berkelanjutan. Kemudian harus memiliki jam terbang untuk mendapatkan pengalaman yang memadai dan pengakuan baik secara legal formal (misalnya berupa sertifikasi) maupun secara informal dari komunitas keamanan informasi. Pengakuan formal mudah didapatkan dengan mengikuti aneka program sertifikasi keahlian. NPengakuan informal membutuhkan dedikasi dan kontribusi kepada komunitas dalam jangka panjang. Para aparat penegak hukum
cyber crime harus mampu berdiri di dua sisi tersebut. Apalagi di dalam proses investigasi nantinya, peran serta komunitas ini akan sangat besar dan penting. Karena merekalah yang menyediakan jaringan manusia yang memiliki sumber informasi berharga terkait aktivitas kejahatan itu dan sekaligus terutama modus, trik dan teknologi yang digunakan.

PROYEKSI KEAMANAN E-BANKING 2010

Di masa depan upaya dan modus kejahatan terhadap layanan perbankan elektronik akan semakin meningkat terutama yang tidak melibatkan interaksi fisik (transaksi teller, mesin ATM, EDC) dan tidak membutuhkan perangkat media transaksi fisik (kartu magnetik/smart card, token, buku tabungan dlsb.). Sehingga kelemahan dan celah keamanan aplikasi layanan internet banking serta SMS/mobile banking dan jenis layanan transaksi online lainnya akan menjadi sasaran utama untuk dieksploitasi.

Apalagi pengguna selular saat ini telah mencapai setengah dari total populasi (135 juta), demikian juga pengguna internet meningkat tajam (35 juta) pada akhir 2009. Sehingga potensi untuk memanfaatkan 2 jenis layanan perbankan elektronik ini sangat tinggi. Untuk diketahui, SMS/mobile banking di Indonesia saat ini diperkirakan digunakan oleh 3 juta pengguna aktif. Sedangkan untuk internet banking digunakan oleh sekitar 1 juta pengguna aktif. Maka pertumbuhan ini akan sangat menarik perhatian para pelaku kejahatan dan menjadikannya sebagai sasaran baru.

Walaupun pada saat ini jumlah pengguna layanan online banking tersebut masih terlihat sedikit bila dibandingkan dengan pengguna kartu ATM atau kartu kredit misalnya, namun sesungguhnya ini juga terkait dengan strategi marketing bank itu sendiri. Pada prinsipnya bank masih lebih banyak fokus pada pemasaran produk off line banking atau automated semi online banking seperti ATM, EDC dan produk pembayaran cerdas seperti voucher card. Karena alasan tingkat sales transaksi konvensional ini masih sangat tinggi. Sehingga bank menahan laju pertumbuhan untuk online banking dengan cara membatasi kekayaan fitur dan kapasitas pelayanannya. Sehingga online banking pun baru digunakan secara terbatas dikalangan nasabah dan merchant tertentu. Trend internasional sesungguhnya tidak bisa dibendung lagi. Sehingga, pada saatnya, sesuai tuntutan pasar, online banking akan booming.

Ketika booming itu terjadi, maka kasus upaya pencurian data personal nasabah akan meningkat tajam dan berbagai modus lama maupun baru akan dilakukan oleh para pelaku. Jebakan phising site akan semakin marak dan aneka tools/exploit/malware yang akan digunakan untuk menjebol aplikasi online banking dan atau menyusup ke dalam jaringan back end dan memata-matai komputer nasabah juga akan menyebar luas. Sehingga bank, operator seluler dan provider internet sejak saat ini harus lebih proaktif di dalam melakukan sosialisasi untuk menciptakan kesadaran kepada nasabahnya sebagai upaya antisipasi. Selain itu prosedur internal serta teknologi yang digunakan juga harus terus ditingkatkan.

Sumber :
http://www.idsirtii.or.id/index.php/news/2010/01/21/81/mewaspadai-kejahatan-layanan-perbankan-elektronik-himbauan-kepada-masyarakat-dan-keterangan-pers.html, dalam :

http://www.cianjurcybercity.com/2010/01/22/mewaspadai-kejahatan-layanan-perbankan-elektronik.html

(Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure –ID-SIRTII)

Masa Depan Perbankan Indonesia

BANK of England, Oversight (2000) mengingatkan: Payment systems are a vital part of the economic and financial infrastructure. Their efficient functioning, allowing transactions to be completed safely and on time makes a key contribution to overall economic performance.

Sistem arsitektur perbankan di negara maju selalu tidak dapat dilepaskan dengan sistem moneternya. Sejauh mana sistem moneter lebih dominan daripada sistem fiskal perlulah mendapatkan perhatian yang saksama dalam merancang arsitektur perbankan di sebuah negara. Yang luput sampai saat ini dalam pembahasan arsitektur perbankan di Indonesia adalah hilangnya perhatian akan fungsi perbankan dalam mengoptimalkan fungsi pembayaran.

Bassone dan Cirasino (2001) mengatakan: Indeed, rules have been laid out by markets and governments in all countries and at all times to ensure that payments were effected as safely and expeditiously as feasible, given the state of technological and institutional development. Only recently, however, with the economies becoming webs of massive and rapid payment flows with very large risk potentials, governments have started to consider systematically how to oversee payment activities. Bahkan ada kesan arsitektur perbankan Indonesia akan dibawa ke ranah politik misalnya dengan melakukan politisasi akan ekspansi kredit perbankan. Bukan hanya menempatkan fungsi kredit dalam arsitektur perbankan Indonesia sebagai fungsi utama, namun ada kecenderungan untuk menancapkan semangat nasionalisasi melalui sentimen antiasing yang di luar kewajaran. Antiasing sah saja dikemukakan dalam orasi ilmiah, namun dalam konteks ketahanan perbankan nasional berbasis sistem pembayaran yang andal maka peran asing justru tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Livarinen et al (2003) mengingatkan 'globalisation of payment systems requires the regulators and supervisors of national systems to cooperate internationally to control increasingly complex international entity of payment systems. Misalnya dengan semakin tingginya mobilisasi barang, jasa, manusia dan modal antarnegara, interaksi sistem pembayaran pasti akan semakin bersinggungan dengan instrumen fiskal dan investor asing. Instrumen fiskal tidak melulu berhubungan dengan crowding out effect dalam perekonomian, tetapi bagian integral dari sistem pembayaran dalam perekonomian. Kecuali Indonesia ingin melakukan politik isolasi seperti yang dilakukan oleh Myanmar. Dalam konteks itu juga tersirat adanya kelompok kepentingan yang menginginkan Indonesia seperti Myanmar, artinya bukan hanya modal asing yang ditabukan, melainkan juga kegiatan ekspor dan impor. Sebaliknya China justru terus membuka diri terhadap modal asing termasuk modal asing bagi kegiatan perbankan. Yang menarik justru China mampu mempertahankan fungsi bank sentral China dan bank-bank BUMN sebagai jangkar dari operasi pembayaran dan kredit nasional secara sekaligus.

Dalam konteks Indonesia kejadian tersebut sudah tidak berlaku lagi karena bank-bank BUMN tidak lagi diciptakan sebagai agent of development bersama-sama dengan bank sentral. Bank-bank BUMN telah menjadi bank komersial seratus persen dan Bank Indonesia menjadi bank sentral independen yang hanya semata-mata peduli terhadap inflasi. Kredit likuiditas Bank Indonesia sudah ditabukan, padahal di China peran APBN masih kental dalam menopang operasi kredit dan pembayaran perbankan di China. Sementara itu di Indonesia, Bank Indonesia sudah steril dari kredit. Jika arsitektur perbankan Indonesia hanya mengedepankan semangat antiasing dan upaya untuk memperbesar kelancaran kredit perbankan, tanpa adanya fungsi bank BUMN dan Bank Indonesia sebagai agent of development seperti yang terjadi di China, justru akan menyebabkan fungsi kredit semakin terkebiri dan fungsi pembayaran perbankan semakin berpotensi menimbulkan risiko sistemik.

Arsitektur perbankan di Indonesia sudah kehilangan filosofi dasarnya sebagai penggerak, pengayom, dan stabilisasi sistem perekonomian yang berlandaskan sistem pembayaran yang tangguh. Di sinilah arsitektur perbankan di Indonesia perlu dikoreksi secara tajam. Jika bank BUMN dapat difungsikan kembali seperti di China, fungsi kredit akan menjadi tugas bank-bank BUMN. Adapun bank swasta dengan motor utama Bank BCA akan difokuskan sebagai bank pembayaran. Untuk itu, fungsi pembayaran dalam arsitektur perbankan di Indonesia harus mengadopsi sistem seperti di Amerika Serikat, yaitu menjadikan sistem pembayaran tandem dengan bank sentral dan bank komersial dapat melakukan fungsi pembayaran secara finality. Jika sistem arsitektur perbankan di Indonesia sudah mengatur permasalahan tersebut, optimalisasi sistem pembayaran nasional akan semakin efisien dan efektif. Pasar kredit dan pasar aset lainnya menjadi semakin terintegrasi dalam sub-subsistem moneter yang saling berhubungan, namun dengan risiko sistemik yang semakin rendah. Dapatlah dibayangkan jika Bank Mandiri mampu menurunkan tingkat suku bunga kredit secara drastis, dapat dipastikan bank-bank BUMN lainnya akan mengikuti arah yang dilakukan oleh Bank Mandiri tersebut tanpa harus melakukan kartel. Tidak seperti saat ini, yakni Bank Mandiri tampak terkesan takut-takut dalam menurunkan tingkat suku bunga kredit. Namun, hal itu tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada Bank Mandiri karena aturan Bank Indonesia beserta arsitektur perbankannyalah yang memasung langkah sehat dari Bank Mandiri itu. Dengan demikian, bank swasta dapat lebih berkonsentrasi pada fungsi pembayaran perbankan yang bersama-sama dengan bank sentral akan membuat risiko sistemik dapat lebih terkontrol. Itulah yang harus dibuat dalam arsitektur perbankan Indonesia jika Indonesia ingin memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan sebagaimana yang telah dilakukan oleh China. Usia China yang 60 tahun terbukti lebih produktif dalam menciptakan nilai tambah ketimbang Republik Indonesia yang berusia lebih tua. Dari sisi interaksi dengan sistem kapitalisme maka boleh dikatakan China memulainya pada 30 tahun yang lalu sementara Indonesia gagal di era Orde Lama. Pun Orde Baru juga gagal menciptakan perbankan sebagai agent of development pada krisis 1997. Seharusnya Indonesia belajar dari Amerika Serikat pada krisis baru-baru ini yang juga mengalami krisis akut sekalipun katanya sistem perbankan Amerika Serikat sudah amat efisien karena ternyata bank swastalah yang membuat kredit macet tersebut. Sementara itu, sistem perbankan di China terus mampu bertahan dari kredit macet sebab motor utama penyaluran kredit pada sistem ekonomi adalah bank-bank BUMN beserta bank sentral. Bank swasta di China lebih fokus dengan bisnis yang terkait sistem pembayaran termasuk kartu kredit.

Untuk itu, ke depan visi perbankan di Indonesia harus menggunakan strategi penyaluran kredit seperti yang terjadi di China agar sektor riillah yang berjalan dan bukan sektor jasa seperti saat ini terjadi di Indonesia. Perlu juga dicamkan bahwa sistem pembayaran yang andal akan menopang berfungsinya kebijakan moneter, pasar keuangan, stabilitas keuangan serta perbankan.

Menarik mencermati pernyataan dari Bank Sentral Uni Eropa (2009): Like any central bank, the ECB, together with the Eurosystem is interested in the prudent design and management of the payment and securities clearing and settlement systems which process its currency. It pays close attention to their smooth functioning, as well as to reducing the related potential risks. The smooth functioning is crucial for: a sound currency and for the conduct of monetary policy, the functioning of financial markets and the maintenance of banking and financial stability. Dengan sistem pembayaran yang tangguhlah, perekonomian akan memiliki daya saing ekonomi yang tinggi!


Oleh Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/11/10/104770/68/11/Masa-Depan-Perbankan-Indonesia
11 November 2009

Oleh Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis

Dekonstruksi Sistem Perbankan

Oleh: Muhammad Shodiq

Krisis keuangan global yang sedang terjadi saat ini telah menyisakan berbagai macam
pertanyaan tentang seberapa besar tingkat kredibilitas, eksistensi, dan kelayakan lembaga keuangan serta perbankan yang ada untuk dipertahankan sebagai sistem perbankan dan keuangan masa depan.

Bank sentral menyalahkan para bankir yang dianggap terlalu tamak sebagai akar masalah
krisis. Bankir menyalahkan bank sentral yang telah mendorong terciptanya iklim persaingan dengan tingkat suku bunga murah sehingga perbankan terpaksa menyalurkan kredit yang berisiko tinggi agar tetap bisa untung. Para agen properti juga disalahkan karena mengajukan proposal calon debitur yang sebenarnya tak layak dibiayai.

Agen pemeringkat juga disalahkan karena terlalu mudah memberi peringkat baik walaupun aset yang sebenarnya adalah aset busuk. Para akuntan juga dianggap berkontribusi terhadap krisis dengan cara melakukan sekuritisasi aset tersebut melalui kendaraan lain, yakni yang lazim disebut dengan SPV (Special Purpose Vehicles), sehingga bank bisa lebih leluasa melakukan ekspansi kredit karena aset busuk tersebut sudah berpindah tangan ke SPV. Krisis ini harus dijadikan pelajaran bahwa sistem keuangan yang ada saat ini telah gagal total. Sehingga, kita harus mencari solusi permanen atas krisis tersebut. Kita tidak bisa mengobati
sakit kepala akibat stroke, misalnya, dengan cara minum obat sakit kepala. Kita harus
mengobati stroke-nya, bukan sakit kepalanya.


Perombakan Fractional Reserve Banking System

Fractional Reserve Banking System merupakan biang keladi terjadinya berbagai krisis
keuangan. Ketika terjadi resesi besar di Amerika Serikat pada 1930-an, presiden Roosevelt mendukung sebuah gagasan reformasi sistem perbankan yang diajukan oleh sejumlah ahli ekonomi terkemuka dari Universitas Chicago yang lebih dikenal sebagai
Chicago Plan
.
Chicago Plan mengusulkan perombakan sistem cadangan modal minimum perbankan (reserve requirements ). Di antara para ekonom tersebut adalah Irving Fisher, Frank Knight, Milton Friedman, Murray Rothbard, dan Ludwig von Misses. Namun, upaya tersebut masih gagal karena begitu kuatnya lobi para bankir yang memang diuntungkan sistem tersebut.

Dengan Fractional Reserve System perbankan hanya cukup menjaga cadangan minimum deposit (rata-rata di dunia hanya 8 persen) dan sisanya dapat dipakai untuk menyalurkannya dalam bentuk kredit. Dalam hal ini terdapat asumsi bahwa nasabah tidak akan mengambil dananya pada saat bersamaan. Sebab, jika nasabah menarik dana mereka di bank pada saat bersamaan, bisa dipastikan bank tersebut akan ambruk karena dana tersebut tidak tersedia lagi di bank, melainkan sudah disalurkan dalam bentuk kredit. Tidak heran jika pada tahun 1998 banyak bank di Tanah Air yang bangkrut karena nasabah menarik dananya pada saat bersamaan. Sehingga, untuk menghindari kebangkrutan sistem perbankan nasional, BI terpaksa mengucurkan BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) yang mencapai sekitar Rp 144,5 triliun. Kejadian serupa
juga terjadi di Amerika Serikat dengan ambruknya Washington Mutual Bank pada September 2008; Krisis Northern Rock di Inggris pada 2007, serta masih banyak lagi yang lainnya.

Secara teori, penabung berharap, bank dapat menginvestasikan dananya secara hati-hati dan memperkecil terjadinya risiko kredit macet dengan memonitor perkembangan usaha para debiturnya. Namun, dalam praktiknya, bank tidak menyampaikan secara detail dan transparan tentang perkembangan hasil investasinya terhadap para penabung. Hal inilah yang memicu munculya masalah moral hazard para bankir.
Sistem ini pula yang menyebabkan pertumbuhan persediaan uang menjadi berlipat-lipat.
Namun, bukan ditopang oleh pertumbuhan produksi, melainkan oleh hutang yang lebih dikenal dengan debt based economic system. Pada tahun 1990, jumlah utang konsumtif rumah tangga di Amerika Serikat baru mencapai 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) AS. Angka tersebut membengkak menjadi 70 persen pada tahun 2000. Delapan tahun kemudian, angka tersebut telah mencapai lebih dari 100 persen. Ini artinya rumah tangga di Amerika Serikat memiliki pola hidup melebihi kemampuan produksi mereka. Sehingga, tidaklah heran jika saat ini mereka tertimpa bencana krisis keuangan tersebut.


Konsep No Risk, No Return

Dalam konsep ekonomi syariah, dikenal prinsip 'al-ghurm bil ghunm' (no risk, no return). Artinya, jika Anda tidak mau menanggung risiko, Anda tidak berhak atas keuntungan. Implementasi dalam konsep perbankan adalah membuat dua jenis produk simpanan. Pertama adalah simpanan titipan (wadiah) di mana nasabah berhak menyimpan uangnya di bank dan bank wajib mengembalikan simpanan tersebut kapan saja dana tersebut dibutuhkan oleh nasabah. Oleh karena bank menjamin dana nasabah, bank wajib mencadangkan 100 persen dana tersebut di neraca bank (100 persent reseve). Untuk menjalankan fungsi tersebut, bank bisa mengenakan biaya administrasi kepada nasabah atas jasa titipan dan penjaminan. Kedua adalah simpanan investasi (mudharabah) di mana nasabah menginvestasikannya dalam usaha yang dijalankan oleh bank. Nasabah
berhak atas hasil usaha yang dijalankan oleh bank sesuai dengan porsi yang disepakati, baik untung maupun rugi. Bank harus benar-benar menjalankan prinsip transparansi kepada para penabung atas hasil usaha yang dijalankannya. Dalam hal ini, bank tidak menjamin dana nasabah sehingga bank tidak perlu mencadangkan dana atas investasi tersebut (nol persent reserve). Dengan demikian, Bank Indonesia tidak perlu repot-repot menyediakan suntikan dana bagi perbankan yang berkualitas buruk. Tidak perlu lembaga penjamin simpanan karena yang berlaku adalah hukum pasar di mana bank yang berkinerja baik akan menghasilkan return lebih baik, sedangkan bank berkinerja buruk tidak dapat menghasilkan keuntungan, bahkan bisa rugi sehingga nasabah akan melakukan seleksi alam terhadap kualitas perbankan.

Dalam praktik perbankan syariah yang saat ini berjalan, terlihat masih mengikuti ketentuan yang sama dengan bank konvensional, yakni berdasarkan fractional reserve system sehingga pencadangan dana tidak didasarkan atas perbedaan akad antara wadiah dan mudharabah . Bank syariah tidak bisa menerapkan konsep nol persen reserve sendirian sebab akan menjadi tidak kompetitif selama bank konvensional masih enikmati
insentif pencadangan minimum (reserve requirement) dan lembaga penjaminan simpanan.
Merombak fractional reserve system memang tidak mudah karena butuh komitmen semua stak eholder sektor keuangan. Kesulitan mengubah sistem perbankan relatif hampir sama dengan sulitnya menghapuskan sistem perbudakan di muka bumi. Namun, tidak ada yang mustahil jika kita mau, di mana ada kemauan di situ ada jalan.

Penulis: Praktisi Ekonomi Syariah, Rafe Haneef and Former Head of Islamic Banking Citigroup Asia Pasific


Sumbet:
Harian Republika, Sabtu 24 Januari 2009, dalam :
http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/ekonomi-bisnis/1252-dekonstruksi-sistem-perbankan.pdf

Kasus Bank Century dalam Tinjauan Perbankan Islam


oleh Bhima Yudhistira

Dapat dikatakan bahwa Bank Century merupakan tragedi kebangkrutan terbesar dalam ranah perbankan di Indonesia pada tahun 2009. Pemerintah terpaksa melakukan bail out 6.7 triliun rupiah untuk menyelamatkan likuiditas Bank Century. Menurut Sri Mulyani, “Keputusan penyelamatan berasal dari permintaan Bank Indonesia karena dapat berdampak sistemik dengan menyeret 23 bank lain” (Media Indonesia, 16 September 2009).

Kasus bermula dari dugaan penyelewengan dana nasabah oleh Antaboga Sekuritas sebagai pemegang 7.52% saham bank century dalam permainan instrumen derivatif. Kasus penyelewengan dana tersebut berkembang ke arah miss-management yang dilakukan oleh pengelola DPK (dana pihak ketiga) Bank Century. Mencuatnya kasus Bank Century sering dikaitkan dengan dampak krisis global yang menerpa lembaga keuangan dunia dan berdampak sistemik pada perbankan Indonesia. Namun olah data badan penyidik keuangan (BPK) menemukan bahwa kasus Bank Century sudah terendus sebelum krisis global terjadi. Hal ini menimbulkan kecurigaan adanya pengalihan isu, sehingga para nasabah dan investor menjadi maklum dengan kasus likuiditas akibat efek krisis global yang berdampak pada Bank Century. Terjadi force majeur krisis dalam bentuk pembodohan opini publik. Hal ini dikuatkan oleh hasil penyidikan BPK yang menyebutkan bahwa Bank Century sudah cacat dari lahir. Seperti yang di katakan oleh Anwar Nasution selaku kepala BPK, “Bank Century sejak dulu sampai diambil LPS selalu melanggar aturan” (Media Indonesia, 16 September 2009). Pelanggaran yang terjadi berupa tingkat minimum CAR (Rasio kecukupan modal), Batas maksimal pemberian kredit, dan FPJP (Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek).

Dilihat dari kronologis kasus Bank Century, hal yang perlu di garis bawahi adalah praktik FPJP yang cenderung menetapkan bunga pinjaman di atas bunga yang berlaku di pasar. Dengan suku bunga kredit yang tinggi, jumlah default (gagal bayar) yang terjadi pun meningkat. Hal ini menjadikan NPL(non-performing loan) bank Century berada di atas level normal NPL perbankan pada umumnya.

Jika kita menganalisis FPJP secara mendetail, hal ini sama dengan skema subprime mortgage. Bank menetapkan bunga yang tinggi untuk mendapatkan return yang tinggi tanpa memperdulikan kreditor yang belum tentu dapat membayar pokok ditambah bunganya. Dalam Perbankan Islam, pengharaman bunga (riba) bukan hanya berdasarkan perintah Al-Qur’an tapi juga berdasarkan praktik bunga yang dapat mengakibatkan krisis keuangan, bermula dari meningkatnya kasus gagal bayar (NPL).

Selain faktor suku bunga dan pinjaman jangka pendek yang irrasional dan beresiko tinggi, manajemen Bank Century juga terbukti bersalah karena menggunakan dana nasabah untuk berinvestasi dalam instrumen derivatif, bukan disalurkan ke pembiayaan sektor riil. Instrumen derivatif merupakan instrumen yang penuh dengan permainan spekulasi sehingga cenderung menjadi praktik zero sum game atau judi (maysir). Setiap bank tentu mengharapkan return yang tinggi, namun cara yang dilakukan Bank Century merugikan nasabah. Hal tersebut sama saja men-zalimi pihak nasabah karena tidak terdapat transparansi dalam usaha yang dijalankan. Nasabah dijanjikan imbal hasil (return) yang tinggi, dan janji-janji yang terlalu menggiurkan dari pihak perbankan tanpa memberi informasi yang jelas tentang aliran pemanfaatan dana-nya. Kasus Bank Century juga digolongkan tadlis (penipuan). Penipuan bermula dari sisi manajerial bank dengan ditemukan adanya praktik moral hazard. Hal ini timbul karena kurangnya pengawasan dari BI dan rendahnya etika serta moral para eksekutif-nya. Dalam perbankan Islam, seluruh karyawan dan eksekutif perbankan haruslah memiliki tanggung jawab secara horizontal (sesama manusia) dan vertikal (kepada Allah SWT).

Kasus Bank Century memberikan pelajaran berharga pada kita agar menjaga setiap amanah yang diberikan. Baik sebagai akuntan, pengusaha, maupun ekonom muslim. Dengan mempelajari kasus ini, kita dapat menuju kepada satu kesimpulan penting bahwa praktik bunga(riba), judi (maysir), dan moral hazard adalah penyebab dari adanya krisis ekonomi. Dan peran utama perbankan Islam adalah menghilangkan segala bentuk kezaliman(riba, maysir, tadlis) yang terjadi dalam praktik perbankan dan keuangan. Sehingga tercapai ke-maslahatan bersama.

Referensi:

Adhinegara, Bhima Yudhistira. 2009. Peranan Perbankan Syariah dalam Menjaga dan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Pasca Krisis Finansial. Makalah LKTI IDE-X. Yogyakarta.
Bawazier, Fuad. “Bank Century dan Berkah Krisis”. Dalam Harian Umum Republika, 14 September 2009, No.247 tahun ke 17.
Usman. 2009. “Bank Century Cacat Sejak Lahir”. Dalam Harian Media Indonesia, 16 September 2009., No.10449/Tahun XL.


Sumber :

http://www.shariaheconomics.org/2009/kasus-bank-century-dalam-tinjauan-perbankan-islam/

12 Oktober 2009