Selasa, 09 Maret 2010

Dekonstruksi Sistem Perbankan

Oleh: Muhammad Shodiq

Krisis keuangan global yang sedang terjadi saat ini telah menyisakan berbagai macam
pertanyaan tentang seberapa besar tingkat kredibilitas, eksistensi, dan kelayakan lembaga keuangan serta perbankan yang ada untuk dipertahankan sebagai sistem perbankan dan keuangan masa depan.

Bank sentral menyalahkan para bankir yang dianggap terlalu tamak sebagai akar masalah
krisis. Bankir menyalahkan bank sentral yang telah mendorong terciptanya iklim persaingan dengan tingkat suku bunga murah sehingga perbankan terpaksa menyalurkan kredit yang berisiko tinggi agar tetap bisa untung. Para agen properti juga disalahkan karena mengajukan proposal calon debitur yang sebenarnya tak layak dibiayai.

Agen pemeringkat juga disalahkan karena terlalu mudah memberi peringkat baik walaupun aset yang sebenarnya adalah aset busuk. Para akuntan juga dianggap berkontribusi terhadap krisis dengan cara melakukan sekuritisasi aset tersebut melalui kendaraan lain, yakni yang lazim disebut dengan SPV (Special Purpose Vehicles), sehingga bank bisa lebih leluasa melakukan ekspansi kredit karena aset busuk tersebut sudah berpindah tangan ke SPV. Krisis ini harus dijadikan pelajaran bahwa sistem keuangan yang ada saat ini telah gagal total. Sehingga, kita harus mencari solusi permanen atas krisis tersebut. Kita tidak bisa mengobati
sakit kepala akibat stroke, misalnya, dengan cara minum obat sakit kepala. Kita harus
mengobati stroke-nya, bukan sakit kepalanya.


Perombakan Fractional Reserve Banking System

Fractional Reserve Banking System merupakan biang keladi terjadinya berbagai krisis
keuangan. Ketika terjadi resesi besar di Amerika Serikat pada 1930-an, presiden Roosevelt mendukung sebuah gagasan reformasi sistem perbankan yang diajukan oleh sejumlah ahli ekonomi terkemuka dari Universitas Chicago yang lebih dikenal sebagai
Chicago Plan
.
Chicago Plan mengusulkan perombakan sistem cadangan modal minimum perbankan (reserve requirements ). Di antara para ekonom tersebut adalah Irving Fisher, Frank Knight, Milton Friedman, Murray Rothbard, dan Ludwig von Misses. Namun, upaya tersebut masih gagal karena begitu kuatnya lobi para bankir yang memang diuntungkan sistem tersebut.

Dengan Fractional Reserve System perbankan hanya cukup menjaga cadangan minimum deposit (rata-rata di dunia hanya 8 persen) dan sisanya dapat dipakai untuk menyalurkannya dalam bentuk kredit. Dalam hal ini terdapat asumsi bahwa nasabah tidak akan mengambil dananya pada saat bersamaan. Sebab, jika nasabah menarik dana mereka di bank pada saat bersamaan, bisa dipastikan bank tersebut akan ambruk karena dana tersebut tidak tersedia lagi di bank, melainkan sudah disalurkan dalam bentuk kredit. Tidak heran jika pada tahun 1998 banyak bank di Tanah Air yang bangkrut karena nasabah menarik dananya pada saat bersamaan. Sehingga, untuk menghindari kebangkrutan sistem perbankan nasional, BI terpaksa mengucurkan BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) yang mencapai sekitar Rp 144,5 triliun. Kejadian serupa
juga terjadi di Amerika Serikat dengan ambruknya Washington Mutual Bank pada September 2008; Krisis Northern Rock di Inggris pada 2007, serta masih banyak lagi yang lainnya.

Secara teori, penabung berharap, bank dapat menginvestasikan dananya secara hati-hati dan memperkecil terjadinya risiko kredit macet dengan memonitor perkembangan usaha para debiturnya. Namun, dalam praktiknya, bank tidak menyampaikan secara detail dan transparan tentang perkembangan hasil investasinya terhadap para penabung. Hal inilah yang memicu munculya masalah moral hazard para bankir.
Sistem ini pula yang menyebabkan pertumbuhan persediaan uang menjadi berlipat-lipat.
Namun, bukan ditopang oleh pertumbuhan produksi, melainkan oleh hutang yang lebih dikenal dengan debt based economic system. Pada tahun 1990, jumlah utang konsumtif rumah tangga di Amerika Serikat baru mencapai 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) AS. Angka tersebut membengkak menjadi 70 persen pada tahun 2000. Delapan tahun kemudian, angka tersebut telah mencapai lebih dari 100 persen. Ini artinya rumah tangga di Amerika Serikat memiliki pola hidup melebihi kemampuan produksi mereka. Sehingga, tidaklah heran jika saat ini mereka tertimpa bencana krisis keuangan tersebut.


Konsep No Risk, No Return

Dalam konsep ekonomi syariah, dikenal prinsip 'al-ghurm bil ghunm' (no risk, no return). Artinya, jika Anda tidak mau menanggung risiko, Anda tidak berhak atas keuntungan. Implementasi dalam konsep perbankan adalah membuat dua jenis produk simpanan. Pertama adalah simpanan titipan (wadiah) di mana nasabah berhak menyimpan uangnya di bank dan bank wajib mengembalikan simpanan tersebut kapan saja dana tersebut dibutuhkan oleh nasabah. Oleh karena bank menjamin dana nasabah, bank wajib mencadangkan 100 persen dana tersebut di neraca bank (100 persent reseve). Untuk menjalankan fungsi tersebut, bank bisa mengenakan biaya administrasi kepada nasabah atas jasa titipan dan penjaminan. Kedua adalah simpanan investasi (mudharabah) di mana nasabah menginvestasikannya dalam usaha yang dijalankan oleh bank. Nasabah
berhak atas hasil usaha yang dijalankan oleh bank sesuai dengan porsi yang disepakati, baik untung maupun rugi. Bank harus benar-benar menjalankan prinsip transparansi kepada para penabung atas hasil usaha yang dijalankannya. Dalam hal ini, bank tidak menjamin dana nasabah sehingga bank tidak perlu mencadangkan dana atas investasi tersebut (nol persent reserve). Dengan demikian, Bank Indonesia tidak perlu repot-repot menyediakan suntikan dana bagi perbankan yang berkualitas buruk. Tidak perlu lembaga penjamin simpanan karena yang berlaku adalah hukum pasar di mana bank yang berkinerja baik akan menghasilkan return lebih baik, sedangkan bank berkinerja buruk tidak dapat menghasilkan keuntungan, bahkan bisa rugi sehingga nasabah akan melakukan seleksi alam terhadap kualitas perbankan.

Dalam praktik perbankan syariah yang saat ini berjalan, terlihat masih mengikuti ketentuan yang sama dengan bank konvensional, yakni berdasarkan fractional reserve system sehingga pencadangan dana tidak didasarkan atas perbedaan akad antara wadiah dan mudharabah . Bank syariah tidak bisa menerapkan konsep nol persen reserve sendirian sebab akan menjadi tidak kompetitif selama bank konvensional masih enikmati
insentif pencadangan minimum (reserve requirement) dan lembaga penjaminan simpanan.
Merombak fractional reserve system memang tidak mudah karena butuh komitmen semua stak eholder sektor keuangan. Kesulitan mengubah sistem perbankan relatif hampir sama dengan sulitnya menghapuskan sistem perbudakan di muka bumi. Namun, tidak ada yang mustahil jika kita mau, di mana ada kemauan di situ ada jalan.

Penulis: Praktisi Ekonomi Syariah, Rafe Haneef and Former Head of Islamic Banking Citigroup Asia Pasific


Sumbet:
Harian Republika, Sabtu 24 Januari 2009, dalam :
http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/ekonomi-bisnis/1252-dekonstruksi-sistem-perbankan.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar